Pada hari Sabtu tanggal 15 Desember 2018, saya berkesempatan mengikuti sebuah acara talkshow parenting dengan tajuk “Mengenal Bullying Lebih Dekat”. Informasi mengenai talkshow ini saya dapatkan dari salah seorang sahabat saya, dan kami pun membuat janji untuk bersama-sama kesana untuk belajar.
Talkshow ini diselenggarakan atas inisiasi Komunitas Ibu Peduli Bullying dan bertempat di Whiz Prime Hotel Malioboro, tidak jauh lokasinya dari pintu selatan Stasiun Tugu Yogyakarta. Komunitas non profit yang diketuai oleh Ibu Septi Ambarwati, M.Pd.Si ini memiliki slogan “Bergerak untuk Peduli”. Digagas sebagai wadah diskusi, sharing, bertukar pengalaman, dan mencari solusi untuk berbagai kasus bullying yang terjadi di sekitar kita.
Sebagai pembicara dalam talkshow parenting ini, Komunitas Ibu Peduli Bullying menghadirkan dua orang pakar di bidang psikologi dan pakar parenting, yaitu Ibu Fani Eka Nurtjahjo, M. Psi., Psikolog (beliau juga seorang dosen) dan Ibu Retno Prasetyo Ningrum, M. Psi., Psikolog.
Acara dibuka oleh Ibu Fani dengan sharing pengalaman bullying. Dan pada sesi ini, saya berkesempatan untuk menceritakan pengalaman saya menghadapi kasus bullying yang dialami oleh putri sulung saya Alifa, di sekolah lamanya.
Bullying adalah perilaku negatif (kekerasan fisik maupun psikis) yang dilakukan secara berulang-ulang di waktu berbeda oleh seseorang atau sekelompok orang, yang dilakukan secara sengaja untuk menimbulkan ketidaknyamanan dan memperoleh kekuasaan atau kontrol terhadap satu atau sekelompok orang lainnya, serta adanya ketidakseimbangan kekuatan antara pelaku dan korban.
Menurut Ibu Fani, dari pengertian di atas, maka suatu kasus dapat dikatakan sebagai bullying jika memenuhi minimal 3 syarat :
- dilakukan secara sengaja
- dilakukan secara berulang-ulang
- adanya ketidakseimbangan kekuatan antara pelaku dan korban
Faktanya, 50% siswa usia 13-15 tahun di seluruh dunia, yaitu sekitar 150 juta anak, melaporkan pernah mengalami kekerasan dari teman sebaya di sekolah, dimana sepertiga dari mereka pernah terlibat dalam perkelahian fisik. Di Indonesia sendiri, KPAI menerima 26 ribu aduan kasus bullying selama tahun 2011 hingga 2017. Dengan catatan, fakta ini HANYA yang terlapor saja. Masih banyak kasus bullying yang tidak terlaporkan.
Ada beberapa bentuk bullying yang terjadi di sekitar kita :
- Bully Verbal : gosip, celaan, fitnah, memalak (meminta uang secara paksa disertai ancaman), memanggil dengan nama atau julukan yang tidak disukai, dan pernyataan bernuansa ajakan seksual.
- Bully non verbal : melihat dengan tatapan sinis, ekspresi merendahkan, menyoraki saat melihat aksi bullying, mengucilkan, dan mengancam dengan isyarat.
- Bully relasional : pelemahan harga diri korban secara sistematis, persekusi, pengabaian dan pengisolasian. Bullying jenis ini umumnya tidak mudah diidentifikasi seperti bully verbal atau fisik.
- Bully fisik : mencekik, menendang, menjambak, memukul, merusak barang-barang, dan tindakan agresif fisik lainnya. Bullying jenis ini umumnya terjadi pada anak laki-laki.
- Cyberbullying : mengirim pesan negatif di media sosial, mengirimkan voicemail berisi ancaman atau hinaan, membuat postingan yang mempermalukan korban, dan menggunakan akun anonim untuk menyerang media sosial korban.
Terkait cyberbullying, Ibu Fani menambahkan bahwa umumnya pelaku cyberbullying ini adalah pelaku bullying juga di dunia nyata. Dan anak-anak atau orang yang terpapar cyberbullying -baik korban maupun pelaku- sama-sama menghabiskan lebih banyak waktu dalam aktivitas sosial berbasis komputer. Dan ternyata, pelaku dan korban bullying ini sama-sama memiliki kontrol diri yang rendah.
Ada tiga pihak yang terlibat dalam bullying :
- Pelaku, orang yang melakukan tindak perundungan
- Korban, orang yang mendapatkan perlakuan perundungan
- By stander, orang yang menonton atau bisa jadi ikut menyoraki
Tindakan bullying atau perundungan tidak boleh dibiarkan dan harus diselesaikan secara tuntas. Mengapa?
- Bagi pelaku, tindakan yang dilakukannya ini biasanya akibat adanya kekeliruan dalam pengasuhan di rumah. Jika tidak segera diselesaikan secara tuntas, akan berdampak di masa mendatang menjadi pribadi yang agresif, selalu ingin mendominasi, dan berlanjut pada tindakan kriminal.
- Bagi korban, tindakan ini dapat menciptakan trauma berkepanjangan, memunculkan depresi yang berujung bunuh diri, ketikbahagiaan, konsep diri yang rendah, dan bukan tidak mungkin jika di kemudian hari ada keinginan untuk membalas dendam dan menjadi pelaku bullying.
- Anggapan bahwa bullying adalah wajar dan melakukan pembiaran, adalah SALAH. Karena ini akan menciptakan lingkungan yang buruk bagi anak, menghilangkan fitrah berkasih sayang di antara sesama anak, dan bentuk degradasi moral serta hilangnya nilai-nilai luhur kebajikan di masyarakat kita.
Apa saja yang mempengaruhi terjadinya bullying ?
- keluarga yang tidak rukun, permisif terhadap perilaku kekerasan, dan sering mempertontonkan ketidakharmonisan di hadapan anak-anak
- perbedaan kelas di sosial, faktor ekonomi, agama, gender, etnisitas, atau rasisme
- tradisi senioritas, dimana terdapat peraturan tidak tertulis secara turun temurun
- situasi sekolah yang tidak harmonis dan diskriminatif, pengawasan guru rendah, bimbingan etika tidak layak, dan kedisiplinan kaku
- karakter individu atau kelompok, adanya semangat untuk menguasai, mencari popularitas, dan kurangnya empati
Pada sesi kedua, Ibu Retno melanjutkan materi dengan menjabarkan siapa sajakah yang berpotensi menjadi pelaku perundungan ini. Di antaranya adalah :
- anak-anak / remaja yang mengalami kekeliruan dari orangtuanya
- pola asuh permisif dan otoriter
- pelaku yang juga korban bullying sebelumnya, meski tidak selalu demikian
- secara fisik memiliki postur tubuh lebih besar, meski tidak selalu demikian
- kurang memiliki empati
Sedangkan yang berpotensi menjadi korban adalah :
- secara fisik lebih ringkih
- muncul dari keluarga yang juga sering membully sehingga mempengaruhi harga diri dan keyakinan dirinya dalam situasi sosial
- sulit bergaul dan bergabung dengan kelompok
- korban yang menyimpan dendam, sehingga berpotensi menjadi pelaku
Ibu Retno menambahkan bahwa setidaknya ada 4 tanda kekeliruan pengasuhan :
- sulit mengatakan terimakasih
- sulit meminta maaf
- jarang dipuji atau berfokus pada kekurangan
- pembiaran terhadap perilaku negatif
Lalu bagaimana solusinya?
Pertama, pencegahan. Tindakan pencegahan dilakukan agar anak mampu mendeteksi secara dini kemungkinan terjadinya bullying dan mampu melawan ketika hal tersebut benar-benar terjadi. Gunakan aturan lima jari : abaikan dan pergi, abaikan dan pergi, katakan “saya tidak suka”, bilang kepada guru, dan ceritakan kepada guru. Latih juga anak-anak menghadapi bullying dengan percaya diri, berteman, mengatakan “stop”, menghindari pelaku, serta melapor pada guru atau orang tua.
Kedua, tanamkan bahwa perilaku bullying tidak dapat ditolerir. Latih anak dengan golden rules : perlakukan orang lain sebagaimana kamu ingin diperlakukan. Sehingga mereka dapat memberikan bantuan ketika melihat bullying terjadi (melerai, mendamaikan, melaporkan), bukan hanya sekedar menonton atau malah menjadi pendukung bullying.
Ketiga, meningkatkan ketahanan keluarga dan memperkuat pola asuh. Disini orang tua dapat menanamkan nilai-nilai agama dan cinta kasih sayang kepada anak. Memberikan lingkungan yang penuh kasih sayang sejak dini. Membangun rasa kepercayaan diri, keberanian, kemampuan bersosialisasi, serta mengajarkan etika.
Keempat, di lingkungan sekolah, pihak sekolah dapat memberlakukan program sekolah anti bullying dan memasukkannya dalam kurikulum sekolah. Program ini dapat berupa penyuluhan rutin ataupun program pelatihan.
Di akhir acara, kami diputarkan sebuah video dari Brooks Gibbs, penulis Raise Them Strong, seorang pendidik keterampilan sosial yang mengajar siswa, orang tua, dan guru cara membangun ketahanan emosional dan hidup dengan Aturan Emas.
Dalam video tersebut, yang paling mengena bagi saya adalah ketika Brooks Gibbs mempraktekkan langsung bagaimana ia menghadapi bullying (dalam video tersebut mereka melakukan role play). Ia menunjukkan 2 respons yang berbeda dari sebuah sikap perundungan. Dan dari dua respons tersebut, ternyata didapatkan hasil akhir yang berbeda pula.
Respon pertama, ia membalas kata-kata kasar (bully verbal) dengan kemarahan dan membalas dengan kata-kata kasar yang sama. Pelaku bullying akan semakin senang ketika korbannya menunjukkan kemarahan atau merasa terganggu.
Namun dengan respon kedua, ketika pelaku bullying mendapati korbannya nampak tidak terganggu, tidak menunjukkan kemarahan, pada akhirnya pelaku tersebut justru kehilangan kata-kata sendiri dan merasa malu, tanpa kita harus mengeluarkan kemarahan dan kata-kata kasar yang sama.
Brooks mengatakan bahwa bullying adalah permainan menang atau kalah. Jadi, kita harus memenangkannya!
Acara talkshow ini pun diakhiri dengan pembagian doorprize dari sponsor. Alhamdulillah, saya berkesempatan mendapatkan sebuah khimar, yang cocok untuk Alifa. Ada banyak ilmu yang saya dapatkan disini, dan bisa langsung saya praktekkan untuk anak-anak saya di rumah.
Ayo, kita bergerak untuk mengatasi masalah bullying ini sedini mungkin dan dimulai dari rumah kita.
Sumber : materi acara Talkshow Parenting : Mengenal Bullying Lebih Dekat, oleh Fani Eka Nurtjahjo, M. Psi., Psikolog dan Retno Prasetyo Ningrum, M. Psi., Psikolog.
Facebook : Komunitas Ibu Peduli Bullying
Instagram : @komunitasibupedulibullying
Leave a Reply