“Pokoknya aku mau tamiya baru!! Sekarang!!”
Si kecil Andi membanting mainan lamanya dan menghentak-hentakkan kaki di lantai dengan marah. Ia sudah menangis dan merengek-rengek sejak tadi, meminta mamanya untuk segera membelikan mobil mainan yang diinginkannya. Sementara itu, mama Andi hanya bisa mengelus dada. Baru kemarin Andi dibelikan robot-robotan baru. Seminggu lalu juga papanya sudah membelikan PS terbaru. Kenapa sekarang minta lagi?
Apakah Anda pernah mengalami hal serupa? Saat si kecil Anda banyak memiliki tuntutan, dan tuntutannya harus segera dipenuhi oleh Anda?
Tak mudah mengendalikan anak-anak yang telah terlanjur terbiasa menuntut. Segala keinginannya harus dipenuhi. Jika tidak, ia akan mengamuk dan menangis sepanjang hari. Berteriak-teriak, membanting barang, memukul, mencakar, bahkan menyakiti dirinya sendiri selama berjam-jam pun rela, sampai keinginannya dipenuhi. Pokoknya harus!!
Mengapa bisa begitu?
Ada banyak sebab mengapa anak-anak bisa menjadi “penuntut” seperti itu. Di antaranya adalah :
1. Terbiasa “serba ada”. Anak-anak yang terbiasa semuanya “serba ada”, tidak akan mudah menerima perubahan keadaan yang “tidak serba ada”. Mereka tidak terbiasa bersabar dan menunggu, karena orang tua telah membiasakan memenuhi semua keinginannya.
2. Orang tua terlalu permisif dan lemah terhadap anak. Orang tua hendaknya bersikap di tengah atau seimbang. Tidak setiap keinginan anak dituruti, namun dipilih mana yang memang menjadi skala prioritas. Jika terlalu permisif dan lemah terhadap anak, maka dengan mudah anak “membaca” bahwa jika kemauannya tidak dituruti, ia akan menggunakan amukan dan tangisannya agar keinginan tersebut segera dipenuhi.
3. Orang tua tidak merespon. Berkebalikan dengan orangtua yang permisif dan lemah, jenis orang tua yang terlampau cuek dan tidak merespon anak pun ternyata bisa menjadi bumerang. Misalnya, awalnya anak-anak selalu meminta dengan cara yang baik, tapi orang tua tidak meresponnya. Lambat laun, ia akan mencari berbagai cara agar orang tua merespon kemauannya. Meski ia harus mengamuk seharian sekalipun!
4. Ketidakkonsistenan orang tua dalam mendidik. Misalnya, sekali waktu orang tua mengijinkan anak untuk bebas bermain tanpa belajar. Saat anak keluyuran, orang tua tidak marah. Tapi, di lain waktu, orang tua marah besar saat anaknya keluyuran dan banyak main di luar rumah. Ketidakkonsistenan ini membuat anak-anak menjadi bingung, dan akhirnya pada suatu ketika ia akan mengamuk dan menuntut agar keinginannya dipenuhi.
5. Perbedaan pola asuh. Tak jarang, antara ayah dan ibu memiliki perbedaan cara pandang dalam mengasuh dan mendidik anak. Misalnya, ayah sangat disiplin dan keras, sehingga tidak setiap keinginan anak dipenuhi, melainkan anak harus belajar untuk “bekerja keras” untuk memenuhi keinginannya. Lain halnya dengan ibu, biasanya ibu cenderung lebih lunak, dan mengikuti setiap kemauan anak. Nah, perbedaan inilah, yang juga dapat memicu anak untuk bersikap seenaknya sendiri terhadap tuntutannya. Jika ia meminta pada ayah dan tidak dipenuhi, maka ia akan meminta pada ibu, karena ia tahu ibunya akan memenuhi. Tapi, suatu saat sang ibu tidak memberikan apa yang ia mau, meledaklah amukannya.
Lalu, apa solusinya?
1. Bersikap di tengah. Sebagai orangtua, kita tidak boleh bersikap terlalu keras dan cuek terhadap anak, tapi juga tidak boleh bersikap lemah dan permisif terhadap mereka. Sikap di tengah adalah yang terbaik. Caranya? Respon setiap keinginan anak yang mereka sampaikan pada Anda. Respon ini bukan berarti harus menurutinya. Dalam artian, Anda bisa memberitahunya keadaan Anda. Misalnya, “bagaimana kalau kita tunggu besok? ibu sedang sibuk sekali, jadi tidak bisa menemanimu ke toko mainan” atau “maafkan ibu, Nak, ibu ingin sekali membelikanmu mainan itu. Tapi, saat ini ibu belum punya uang. Bagaimana kalau kita menabung untuk membelinya?”, dsb.
2. Memberikan pengertian tentang skala prioritas. Tidak ada salahnya mengajari anak untuk belajar membuat skala prioritas terhadap hal-hal yang diinginkannya. Yang paling ia butuhkan, itulah yang harus dipenuhi terlebih dahulu. Misalnya, “Kemarin kakak bilang butuh sepatu olahraga, kan? Bagaimana kalau kita beli sepatu dulu, karena itu lebih penting? Insya Allah, kalau ada uang, baru kita beli mainan baru?”
3. Mendidiknya untuk berusaha sendiri terlebih dahulu. Menabung adalah salah satu cara yang paling jitu untuk mendidik anak memenuhi keinginannya sendiri. Belikan ia celengan kecil yang bisa ia isi setiap hari dengan uang sakunya. Misalnya, “kalau adik rajin mengisi celengan ini, uang adik akan banyak. nah, kalau adik punya uang sendiri, adik bisa beli mainan yang adik inginkan. insya Allah, kalau ibu ada rezeki, ibu akan tambah dengan tabungan ibu. bagaimana?”
4. Buat kontrak. Anak-anak harus belajar bahwa tidak setiap keinginannya harus dipenuhi saat itu juga. Dan ia tidak bisa menggunakan amukan, jeritan, tangisan, dan rengekan untuk memaksa Anda memenuhi kemauannya. Buatlah kontrak atau perjanjian dengannya, bahwa Anda hanya akan memenuhi keinginan-keinginan anak-anak yang memintanya dengan sopan dan baik.
5. Kompak dan konsisten. Antara Anda dan suami harus ada kekompakan dalam pola asuh dan konsisten dengan sistem tersebut. Ada baiknya, Anda memberitahukan pola asuh Anda ini kepada nenek, kakek, atau paman dan bibi anak-anak Anda. Agar suatu saat mereka harus ikut dengan kerabat Anda tersebut, mereka dikondisikan dengan pola asuh yang sama.
Leave a Reply