LANGKAH-LANGKAH UNTUK MEMOTIVASI ANAK

Hampir semua orangtua pernah merasakan frustrasi ketika harus menghadapi seorang anak atau remaja yang begitu sulit untuk dimotivasi. Berbagai alasan, permohonan, ancaman, bahkan pertengkaran setiap hari tidak bisa membuat perbedaan dalam tingkah laku mereka. Apapun yang orangtua katakan seolah tidak ada yang masuk dalam hati dan pikiran mereka. Bahkan, semakin kita memberikan mereka dorongan, semakin menjadi pula sikap semau hati mereka. 

Dan sebenarnya, sebelum kita memotivasi dan mendorong mereka, ada beberapa hal yang harus kita perhatikan terlebih dahulu.

1. Introspeksi Diri

Bukan anak yang kita minta untuk mengintrospeksi dirinya, melainkan kita sendiri sebagai orangtua. Bagaimana anak bisa menjadi sedemikian tidak pedulinya terhadap apapun di sekolahnya, itu merupakan tanda tanya besar terhadap pola asuh kita selama ini. Ya!

Sudah benarkah cara kita selama ini mendidik dan mengasuhnya? Apakah kita selama ini terlalu sering memaksanya melakukan apa yang kita inginkan? Atau malah melakukan pembiaran terhadap apa yang dilakukannya? Apakah kita sering menyalahkannya terhadap segala sesuatu? Atau kita terlalu banyak menuruti apa yang dia inginkan? 

Pertanyaan-pertanyaan seperti inilah yang harus bisa membuka mata hati kita, mencari dimana letak kesalahan kita. Buang rasa “selalu benar” dalam diri kita. Karena kita hanya manusia biasa yang tidak luput dari kesalahan. Sebagai orangtua, kita tidak bisa selalu membenarkan apa yang kita pikirkan atau apa yang kita inginkan, tapi harus mau bersama-sama belajar dengan anak.

2. Kekompakan Orangtua

Kendalanya yang juga seringkali terjadi adalah perbedaan sikap atau pola asuh antara ibu dan ayah. Ayah yang terlalu keras pada anak, dan ibu yang terlalu lembut pada anak. Atau sebaliknya. Ketidakkompakan inilah yang seringkali dimanfaatkan oleh anak untuk “mengadu domba” ayah dan ibunya demi mendapatkan apa yang ia inginkan.

Misalnya, ayah yang terlalu banyak menuntut anak untuk selalu juara kelas, sering mencemooh bila nilai anak tak cukup baik, sering membanding-bandingkan anak dengan anak orang lain atau saudaranya yang lain. Sedangkan ibu, hanya bisa pasrah, bukannya memotivasi anak tapi malah membela anak dengan membiarkannya melakukan apa yang anak inginkan. Bahkan tak jarang anak memanfaatkan kelemahan dan kasih sayang ibu untuk memaksakan kehendaknya.

Sudah menjadi satu keharusan bagi orangtua untuk kompak dalam mendidik dan mengasuh anak. Tentukan pola asuh yang disepakati, jika perlu konsultasikan terlebih dahulu pada orang yang ahli di bidang pendidikan anak. Selalu diskusikan segala sesuatunya, dan jangan saling menyalahkan.

3. Mau Mengakui Kesalahan dan Berbesar Hati

Tidak semua orangtua mau mengakui kesalahan dalam pola asuh mereka. Bahkan banyak yang sudah merasa menyerah, tak lagi bisa berbuat apa-apa untuk memotivasi anak-anak mereka untuk kembali ke jalan yang benar. Padahal, sudah jelas aturannya, kalau kita ingin ada perubahan maka perubahan itu harus dimulai dari diri sendiri.

Mengakui kesalahan itu bukanlah sesuatu yang salah atau buruk. Melainkan mengajarkan anak bahwa kita sebagai orangtua pun masih harus belajar banyak. Mau mengakui kesalahan adalah sifat ksatria, dan poin inilah yang seringkali ditunggu-tunggu oleh seorang anak dari orangtuanya.

Kita sendiri pernah menjadi anak-anak, mengalami pula masa remaja yang penuh gejolak. Di saat kita merasa frustrasi, merasa jengkel pada orangtua, kita akan berbuat nakal untuk menarik perhatian mereka. Untuk membuat orangtua “sadar” bahwa ada sesuatu yang salah dalam pola mendidik mereka terhadap kita. Dan yang pasti, kita mengharapkan kata “maaf” dan kesadaran dari orangtua.

#        #        #

Anak Adalah Refleksi Orangtua Mereka

Sering kali yang kita lakukan sebagai orangtua saat anak-anak menjadi berbuat nakal atau berbuat seenak hati, kita akan cenderung bereaksi lebih keras. Utamanya adalah untuk menyelamatkan harga diri, menutupi rasa malu, dan menghindari tanggapan miring dari orang lain. Karena bagaimanapun, anak adalah cerminan orangtuanya. Tentunya kita tak mau dicap sebagai orangtua yang gagal karena tingkah laku anak kita. Betul?

Tapi, tak ada salahnya untuk mencoba mengabaikan segala bentuk rasa malu dan takut dicap gagal itu. Anggapan orang lain adalah nomor sekian, yang utama adalah bagaimana kita bisa memotivasi anak untuk memperbaiki sikapnya terlebih dahulu. Orang lain mungkin heran mengapa anak Anda bisa bersikap begitu, tapi mereka pun akan mengapresiasi ketika kita mencoba memperbaiki anak kita dengan cara yang benar.

Hukum pengasuhan itu sama seperti hukum menanam benih atau biji. Biji tersebut tidak akan tumbuh ketika kita menariknya, melainkan akan tumbuh ketika kita menyiram dengan aira yang cukup dan meletakkannya di tempat yang juga cukup mendapatkan sinar matahari. Begitu pun dengan pengasuhan, anak kita tidak akan menjadi lebih baik dengan tarikan atau segala bentuk pemaksaan kehendak. Tapi mereka akan menjadi lebih baik dengan perhatian yang cukup dan kasih sayang yang tidak memanjakan.

Ambil Langkah Mundur

Saat anak Anda tengah mencoba menguras kesabaran Anda, maka cobalah untuk mengambil langkah mundur, alias hindarilah pertengkaran. Tenangkan diri Anda sejenak, jika perlu katakan pada anak Anda bahwa Anda membutuhkan waktu sesaat untuk mengontrol diri. Begitupun dengan dia.

“Oke, Sayang…kalau kita terus begini, kita nggak akan selesai bertengkar. Maafkan mama, mama butuh waktu sebentar supaya mama nggak marah-marah. Oke? Mama harap kamu juga bisa tenang dulu…”

Setelah Anda dan anak Anda bisa melanjutkan dengan mencari solusi, gunakan kesempatan itu untuk bertanya tentang apa yang ia inginkan dari Anda. Dengarkan setiap keluh kesahnya, atau jika ia merasa belum bisa membicarakannya, Anda bisa memintanya menulis surat untuk Anda.

Memberitahukan Harapan dan Pilihan, Bukan Pemaksaan

Setelah Anda mendengarkan apa yang sesungguhnya anak inginkan atau harapkan dari Anda, maka kini saatnya Anda mengatakan apa yang Anda harapkan darinya. Misalnya, Anda mengharapkan anak Anda untuk bisa lebih membagi waktu belajar dan bermain secara proporsional. Anda juga bisa mengajaknya mengatur waktu dan konsekuensi terhadap apa yang ia lakukan.

“Mama tahu kamu suka sekali main video game, itu boleh kok. Tapi, mama berharapnya sebelum main kamu bisa selesaikan dulu PR-mu. Kalau kamu butuh bantuan, kan ada mama yang siap mengajari.”

Kalau perlu, buatlah kesepakatan-kesepakatan dengan anak. Semuanya harus dilakukan dengan kerelaan hati, namun Anda pun tetap bisa tegas padanya.

Selain harapan, Anda pun harus bisa memberinya berbagai pilihan “sikap” yang bisa ia ambil. Agar anak-anak pun dapat ikut berpikir tentang konsekuensi dari segala perbuatan dan langkah yang mereka ambil. Misalnya, ketika anak tidak mau mengikuti kelas yang Anda usulkan. Anda bisa memberinya beberapa pilihan beserta resiko dari keputusannya.

“Kalau kamu masuk bahasa seperti yang kamu mau, memang disana lebih mudah dan sahabatmu ada disana. Tapi resikonya, setelah lulus SMA jurusan yang mau kamu masuki terbatas. Kalau kamu berubah pikiran, akan sulit untuk masuk jurusan yang kamu inginkan. Dan kalau kamu masuk IPA seperti yang mama sarankan, pilihan ke depannya lebih banyak. Soal pertemanan, mama yakin anak supel seperti kamu gampang dapat teman. Dan mudah atau tidaknya, mama lebih percaya bahwa itu mudah bagimu karena kamu adalah anak mama yang cerdas. Tapi yaaa…sekali lagi, semua itu pilihanmu dan tanggungjawabmu.”

Berikan Tanggungjawab Pada Anak

Setelah mendiskusikan harapan-harapan Anda dan anak Anda berikut dengan konsekuensinya, maka kini sudah saatnya Anda untuk keluar dan memberikan anak Anda kesempatan untuk memilih jalannya dan bertanggungjawab atas resiko pilihannya.

Yah, mereka memang anak-anak kita, tapi mereka pun juga manusia yang merdeka. Mereka akan memiliki kehidupan mereka sendiri, pemikiran mereka sendiri, dan jalan yang akan mereka lalui sendiri. Semakin kita mengontrol mereka, semakin mereka kehilangan arah dan tujuan hidup mereka.

Kita orangtua hanya bisa memberikan arahan, memberikan masukan, support, dan nasehat. Tapi, kita tidak bisa memaksakan terlalu banyak. Bukan membiarkan mereka berbuat semaunya, tapi memberikan mereka tanggungjawab dengan sambil terus memantau dan siap untuk membantu mereka di saat mereka salah.

About bunda 426 Articles
Hai! Panggil saya Icha atau Bunda Fafa. Seorang perempuan biasa yang bangga menjadi istri dan ibu rumah tangga, dan ingin terus belajar untuk menjadi luar biasa dengan karya dan dedikasi. Saat ini saya berdomisili di Yogyakarta, bersama dengan suami saya tercinta, Mr. E, dan anak-anak kami, Fafa (2010) dan Faza (2014). Enjoy!

Be the first to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published.


*


This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.