Pendidikan sebagai sebuah sistem memiliki beberapa komponen di dalamnya, yang dapat dilihat secara mikro dan makro. Secara mikro, pendidikan dapat dilihat dari hubungan komponen peserta didik, pendidik, dan interaksi keduanya dalam usaha pendidikan. Sedangkan secara makro, menjangkau komponen yang lebih luas, di antaranya adalah tujuan pendidikan, peserta didik, manajemen, pendidik, teknologi, fasilitas, dan lain sebagainya.[1] Komponen-komponen ini merupakan satu kesatuan yang saling berkaitan dan memiliki fungsi serta perannya masing-masing. Kelancaran atau kegagalan satu komponen akan tergantung dan memberikan dampak kepada komponen yang lainnya. Sehingga berhasil atau tidaknya proses pendidikan ditentukan dari bagaimana komponen-komponen tersebut berjalan, sinergis ataukah tidak.[2]
Manajemen sebagai salah satu komponen pendidikan merupakan suatu proses merencanakan, mengorganisasi, melaksanakan, dan mengevaluasi usaha para anggota organisasi serta mendayagunakan seluruh sumber daya organisasi dalam rangka mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Maka dalam lingkup sekolah sebagai sebuah organisasi pendidikan, fungsi dan peran manajemen ini dipegang oleh kepala sekolah. Artinya, selain sebagai seorang pemimpin dan administrator pendidikan, kepala sekolah juga memiliki peran sebagai seorang manajer.[3]
Kepala sekolah memang bukan satu-satunya yang bertanggungjawab penuh terhadap sebuah sekolah karena masih banyak faktor lain yang diperhitungkan seperti guru, peserta didik, dan lingkungan yang mempengaruhi proses pembelajaran. Tetapi pada tingkat operasional, kepala sekolah merupakan orang yang harus berada di garis terdepan yang mengoordinasikan upaya meningkatkan pembelajaran yang bermutu. Karena memang kepala sekolah diangkat untuk bertanggungjawab mengoordinasikan upaya bersama mencapai tujuan pendidikan pada level sekolah yang dipimpinnya. Mulyasa dalam Hendarman dan Rohanim juga menyebutkan bahwa kepala sekolah merupakan faktor penentu dalam meningkatkan kualitas pendidikan. Kepala sekolah bertanggungjawab atas penyelenggaraan pendidikan, administrasi sekolah, pembinaan tenaga pendidikan, pendayagunaan serta pemeliharaan sarana dan prasarana, juga sebagai supervisor sekolah yang dipimpinnya. Maka kemampuan kepala sekolah dalam memimpin sistem sekolah sangat berpengaruh terhadap terselenggaranya manajemen atau pengelolaan sekolah yang baik.[4]
Saya akan memberikan salah satu contoh nyata mengapa kepemimpinan kepala sekolah dikatakan sebagai faktor penentu atau indikator kemajuan sebuah sekolah. Contoh ini saya ambil dari sebuah sekolah swasta di Yogyakarta tempat saya melakukan penelitian untuk tesis saya.
Di MI “X” di Yogyakarta, pada tahun ajaran 2018/2019 terjadi pergantian kepemimpinan. Di mana pada kepemimpinan sebelumnya, terjadi kemunduran di berbagai aspek. Beberapa kemunduran tersebut di antaranya adalah adanya defisit dana sekolah, KBM yang tidak efektif, guru-guru yang tidak terkoordinasi dengan baik, hingga kemudian terjadi perpindahan siswa ke sekolah lain dalam jumlah yang cukup besar.
Kemunduran ini kemudian menjadi bahan evaluasi, dan faktor utamanya adalah karena tidak adanya kepemimpinan yang efektif di sekolah tersebut.
Dapat dikatakan, kepala sekolah yang lama belum memiliki visi yang jelas, kurang terbuka terhadap kritik dan saran yang masuk, pengambilan keputusan sering kali secara sepihak dan tidak obyektif, kepala sekolah juga kurang terbuka terhadap pembaharuan dalam bidang pendidikan, kurangnya komunikasi dan koordinasi yang baik sehingga pendelegasian tugas pendidik dan staf di sekolah tersebut menjadi tidak jelas, serta manajemen pembiayaan yang kurang efisien.
Maka ketika kepemimpinan berganti pada kepala sekolah yang baru, kepala sekolah baru yang masih muda ini kemudian melakukan berbagai inovasi untuk melakukan perbaikan di sekolah. Di antara inovasi yang dilakukan adalah pertama, mengaktifkan media sosial dan website sekolah untuk promosi sekolah dan pertanggungjawaban dana yang lebih transparan. Melalui media sosial dan website ini sekolah memperkenalkan visi dan misi sekolah, kegiatan-kegiatan menarik yang menjadi keunggulan sekolah, penggalangan dana, serta neraca keuangan sekolah.
Kedua, memperbaiki komunikasi dan koordinasi antara kepala sekolah dengan guru dan staf di sekolah. Jika pada kepemimpinan sebelumnya kontrol guru sangat kurang, dan para guru seolah berjalan sendiri-sendiri, maka pada kepemimpinan yang baru ini seluruh guru dan staf adalah satu kesatuan yang membawa visi dan misi yang sama. Segala sesuatu dikomunikasikan dan dikoordinasikan dengan baik sehingga ada kesamaan pandangan dan dapat memecahkan berbagai persoalan di sekolah secara lebih efektif dan efisien.
Ketiga, memperbaiki manajemen pembiayaan sekolah. Karena MI “X” ini merupakan sekolah swasta yang seluruh keuangannya dikelola sendiri, maka perencanaan keuangan benar-benar harus dikelola dan diatur dengan baik. Termasuk pembiayaan infrastruktur yang masih menjadi pos pengeluaran terbanyak di sekolah tersebut.
Keempat, memperbaiki kualitas layanan di sekolah dan melakukan inovasi program-program sekolah sehingga sekolah memiliki program-program unggulan yang mampu bersaing dengan sekolah lainnya. Kelima, meningkatkan peran orang tua dengan melibatkan orang tua dalam kegiatan di sekolah dan memperbaiki komunikasi dengan orang tua dengan lebih mendengarkan kritik dan saran yang membangun dari orang tua, sehingga terjalinlah kerjasama yang baik antara sekolah dengan orang tua.
Hasil dari inovasi dan perbaikan yang dilakukan oleh kepala sekolah yang baru ini dapat langsung terlihat. MI “X” yang terbilang sekolah baru ini menjadi lebih dikenal dan sering memenangkan berbagai perlombaan, khususnya di bidang tahfizh Alquran dan keagamaan tingkat SD/MI. Dengan adanya manajemen pembiayaan yang baik, kesejahteraan guru dan staf meningkat hingga kualitas kinerja pun meningkat. Keterlibatan orang tua juga menambah kepercayaan orang tua terhadap sekolah, sehingga kerja sama dalam pendidikan anak menjadi lebih mudah dan lebih baik. Serta dengan adanya program-program unggulan, promosi sekolah yang gencar, pendaftaran peserta didik di sekolah tersebut pun meningkat, bahkan beberapa siswa yang sebelumnya pindah sekolah, pada akhirnya kembali lagi ke sekolah tersebut.
[1]Nanang Fattah, Landasan Manajemen Pendidikan, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 1999), hlm. 6-7.
[2]Maragustam, Filsafat Pendidikan Islam Menuju Pembentukan Karakter, (Yogyakarta: Pascasarjana Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Sunan Kalijaga, 2018), hlm. 196.
[3]Wahyudi, Kepemimpinan Kepala Sekolah Dalam Organisasi Pembelajar (Learning Organization), (Bandung: Alfabeta, 2015), hlm. 64.
[4]Hendarman dan Rohanim, Kepala Sekolah Sebagai Manajer: Teori dan Praktik, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2018), hlm. 22.
Leave a Reply