Terlepas dari pro dan kontra anak mau diajari calistung usia berapa, saya sendiri pada akhirnya memilih untuk “mencoba bijak”.
Selama ini, kita masih banyak terpengaruh oleh pemikiran-pemikiran orang Amerika dan Eropa. Padahal, mereka sendiri sebenarnya juga terbagi dari 2 kubu : pro dan kontra.
Kadang muncul, “hah, jangan-jangan ini adalah kebingungan yang sengaja dibuat untuk membodohi kaum Muslimin,” dan yang semisal dengan itu. Tapi, berpendapat demikian tidak akan membuat saya maju.
Apa yang bisa membuat saya maju? Mengamati, mencoba, merasakan, dan memahami.
Jangan jadi orang cupat yang berpandangan sempit. Jangan jadi orang bodoh yang hanya bisa membeo perkataan si anu dan si anu, padahal sejatinya tidak faham kaidah pengambilan hukum atau kaidah pelaksanaan suatu amalan. Jadilah “ilmuwan” untuk diri kita sendiri.
Pelajari metode pendidikan Finlandia, pelajari metode pendidikan di Jepang, pelajari metode Glenn Doman dan Maria Montessori, dan jangan lupa…terutama jika Anda Muslim, pelajari pendidikan para Sahabat dan Tabi’in serta para pengikut mereka di kalangan orang Shaleh.
“Apaan sih, baru ngajarin calistung usia 7 tahun? Kelamaan ! Anakku nggak bakalan bisa masuk SD favorit!”
“Glenn Doman gila! Mana mungkin bayi bisa baca dan matematika? Aneh! Ini penipuan namanya!”
“Halah, Imam Bukhari kan belajarnya cuma qur’an sama hadits aja! Nggak belajar matematika! Itu juga cuma hafalannya aja yang banyak kan?”
Buka wawasan, baca setiap literatur, baca buku sejarah, cari tahu dengan mencoba, cari tahu dengan mengamati, dan kemudian…nikmati bahwasanya menjadi orang cerdas itu bukan hanya anugrah, tapi juga karena ada usaha untuk mencerdaskan diri sendiri.
Anda tidak akan bisa tahu bagaimana sistem pendidikan di Finland bisa berhasil jika tidak mempelajari dan mencobanya.
Anda tidak akan bisa tahu bagaimana metode Glenn Doman bisa berhasil jika tidak mempelajari dan mencobanya.
Anda tidak akan pernah bisa tahu bagaimana Imam Bukhari bisa menjadi Ahli Hadits jika Anda tidak mempelajari sejarah beliau.
Pelajari…pelajari…dan pelajari lebih dulu.
Saya setuju dengan pendapat yang tidak memperbolehkan MEMAKSA anak untuk belajar calistung di usia dini. Saya setuju dengan larangan masuk sekolah di usia terlalu dini. Saya setuju jika anak usia dini harus diberikan haknya untuk menikmati masa kecil dengan bahagia.
Kenapa saya setuju? Karena saya sendiri merasakan paksaan, masuk sekolah usia dini, dan masa kecil kurang bahagia…eh…kurang bermain. Beneran lho. Kejadian ini saya alami, dan karena mengalaminya, saya tak ingin ini dialami oleh anak-anak saya kelak.
TAPI…
Cobalah untuk teliti…bahwa kata kunci disini adalah “PAKSAAN”.
Jika memaksa…jika dipaksa…jika ada paksaan…
Dalam banyak hal…sesuatu yang mengandung unsur paksaan bukanlah sesuatu yang baik…hasilnya takkan baik…bahkan bisa jadi banyak mudharat yang timbul karenanya.
Lalu BAGAIMANA jika tanpa paksaan?
Coba renungkan hadits Nabi di bawah ini :
عن ابن عباس عن النبي – صلى الله عليه وسلم – قال :علموا ويسروا ولا تعسروا وبشروا ولا تنفروا واذا غضب احدكم فليسكت
Dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Ajarilah, permudahlah dan jangan engkau persulit, berilah kabar gembira dan jangan membuat mereka lari. Jika salah seorang di antara kalian marah, maka hendaklah ia diam,”. (Diriwayatkan oleh Bukhari dalam Adabul Mufrad, dan diriwayatkan pula oleh Imam Ahmad. Lihat Silsilah Al-Hadits Ash-Shahihah No. 1375)
Dan coba renungi perkataan Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu :
مُرُوا أَوْلاَدَكُمْ بِطَلَبُ العِلْمِ
“Perintahkanlah anak-anak kalian agar menuntut ilmu”
Renungkan perkataan Imam Ibnul Qayyim Al-Jauziyyah berikut ini :
“Barangsiapa yang dengan sengaja tidak mengajarkan apa yang bermanfaat bagi anaknya dan meninggalkannya begitu saja, berarti dia telah melakukan suatu kejahatan yang sangat besar. Kerusakan pada diri anak kebanyakan datang dari sisi orangtua yang meninggalkan mereka dan tidak mengajarkan kewajiban-kewajiban dalam agama berikut sunnah-sunnahnya”.
Kita diperintahkan untuk mendidik dan mengajari anak-anak kita ilmu. Dan ilmu yang utama disini adalah ilmu syar’i. Bahkan Rasulullah sendiri sudah memberikan metodenya dengan jelas. Cara yang memudahkan, cara yang membuat anak bahagia, dan anjuran untuk diam ketika marah.
Mau ilmu apa saja…kalau itu untuk anak-anak, buatlah dengan cara anak-anak.
Dunia anak-anak memang harus dibuat semenyenangkan mungkin. Tapi, bukan berarti membiarkan mereka hanya bermain-main saja tanpa diarahkan, kan? Bukan berarti hanya mengajarkan nyanyi-nyanyian saja di sekolah, kan?
Jika hafalan lagu saja boleh dan bisa “asyik”, tentunya ada cara untuk mengajarkan hafalan lain (Al-Qur’an, huruf, angka) dengan cara yang juga asyik, bukan?
Teknologi dan keilmuan saat ini banyak dikuasai oleh orang-orang Barat. Mereka yang paling banyak memiliki peralatan canggih, dokter ahli, ilmuwan ahli, dan pendidik-pendidik handal di bidangnya. Mereka yang melakukan penelitian, dan kita yang hidup di negara berkembang ini baru bisa menerima hasilnya saja.
Dan tidak enaknya…hasil penelitian yang berbeda-beda itulah yang sering kali membingungkan kita. Ditambah lagi, kebanyakan dari kita selalu ingin yang “instan” dan “wow”, yang seringkali itu menabrak aturan alias syarat dan ketentuan yang berlaku dari si peneliti.
Kita juga masih terjebak dalam sistem pendidikan yang karut marut. Tapi, terjebak dalam kebingungan juga bukan sikap yang tepat. Menyalahkan sistem pendidikan negeri sendiri pun bukan cara yang benar. Maklumilah, menteri kita bergonta-ganti sesuai dengan kebijakan presidennya. Beda presiden, beda menteri, bedalah sistem pendidikan dan aturannya. Mau makin terjebak? Silakan.
Sejatinya pendidikan pertama dan utama yang harus diberikan kepada anak adalah aqidah dan akhlak. Mencakup di dalamnya adalah pengenalan tentang Rabb-nya, tentang Nabi-nya, tentang kitabnya, tentang seluk-beluk agamanya, dan pembinaan karakternya. Caranya pun harus menyenangkan dan tidak membuat anak “lari”. Dan untuk saat ini, cara yang tepat untuk memulainya adalah dengan keteladanan dan menanamkan cinta membaca pada diri anak.
Kita wajib memerintahkan anak untuk shalat di usia 7 tahun, tapi memberikan keteladanan dan mengajaknya untuk ikut shalat di usia di bawah 7 tahun itu diperbolehkan. Bahkan afdhal baginya untuk dikenalkan. Dikenalkan, bukan dipaksa. Kecintaan untuk menjalankan syariat itu bukan hanya sehari jadi di ulang tahun anak yang ke tujuh, tapi ditumbuhkan sejak dini. Sama halnya dengan karakter, kecintaan terhadap sesuatu itu dimulai dari pembiasaan. Jangan harap anak umur 7 tahun mau diajak shalat kalau selama ini adzan saja tidak pernah diingatkan dan dibiarkan main game.
Jika anak masih suka bermain-main saat shalat, menaiki ayah saat sedang sujud, tak masalah. Mereka masih anak-anak, namun bukan berarti tidak memberikan pengertian terhadap mereka.
Begitu pula dengan membaca, menulis, dan berhitung. Ilmu alat seperti ini sifatnya adalah untuk memudahkan dalam memahami agama dan cabang ilmu lain.
Jika ingin mengambil pendapat untuk menunda pengajarannya dan mengutamakan pendidikan karakter dulu, silakan. Anda berhak. Terlebih jika Anda memiliki pertimbangan kesiapan anak. Anda punya dalil, jalankan.
Tapi, jika ingin memberikan pengenalan membaca, menulis, dan berhitung di usia dini, juga silakan. Anda berhak. Tapi ingat syarat dan ketentuan yang berlakunya, dan jangan terobsesi. Anak Anda bukan alat untuk mewujudkan impian dan obsesi Anda.
Hidup itu pilihan. Kita sendiri yang memilih, kita sendiri yang harus bertanggungjawab.
Semoga bermanfaat.
Luar biasa, tulisannya sangat membuka pikiran saya lagi.. dan insha Allah bermanfaat untuk yg membacanya. Saya sangat setuju apa yang dipaparkan.
Terimakasih, Mba. Semoga bermanfaat ya.