“Saya telat jemput Ayu. Jam 1.20 baru bisa jemput,”
“Tolong anak saya diperhatikan, tadi pagi muntah-muntah. Kalau ada apa-apa bilang saja,”
“Hari ini Fio pamit. Saya dan istri sama-sama nggak bisa meninggalkan pekerjaan,”
“Minta tolong Nita diantarkan pulang, saya tidak bisa menjemput,”
Membaca pesan-pesan semacam ini yang sudah hampir 4 hari belakangan ini bersliweran di ponsel saya, melemparkan saya pada suatu masa dimana saya masih mengajar.
Ada 2 waktu yang terasa paling meresahkan ketika saya masih menjadi guru. Pertama, adalah hari pertama masuk sekolah di tahun ajaran baru. Bagaimana saya menangani kelas saya di hari pertama adalah kunci keberhasilan saya menangani kelas saya di hari-hari berikutnya. Anak-anak yang merengek, menangis, masih bergelayut pada ibunya, menolak masuk kelas, bahkan meminta ibunya ikut masuk kelas, itu sangat meresahkan. Sungguh. Bagaimana mengatasi itu semua membutuhkan stok sabar dan stok ide yang harus berlimpah.
Waktu kedua adalah waktu pulang sekolah kalau jaga piket. Menunggu satu persatu anak murid dijemput oleh orangtua masing-masing, sampai murid terakhir. Beruntung jika hari itu orangtua datang menjemput tepat waktu. Dan selamat mengcancel semua jadwal jika hari itu ada orangtua yang menjemput terlambat. Di masa saya dulu…pulang hampir jam 5 sore adalah hal biasa. Saking seringnya orangtua terlambat menjemput anaknya dengan alasan “lupa”, “saya kira sudah dijemput ayahnya”, atau “masih banyak pekerjaan”.
Ayah, Bunda…
Ingatkah kita sewaktu kita kecil? Bagaimana orangtua kita memuliakan guru-guru kita, dan betapa santunnya orangtua kita saat berbicara dengan guru kita, bahkan adakah orangtua yang berani meminta guru anaknya mengantarkan si anak pulang? Tidak. Apalagi sampai memenjarakan guru anak sendiri.
Memuliakan guru. Ini yang sudah semakin menipis di jaman sekarang. Kemajuan teknologi, mengapa serasa mengikis semua sopan santun itu? Tidak bisakah menggunakan bahasa-bahasa yang lebih santun, tanpa nada perintah atau memaksa?
Dan bukankah, ketika kita memasukkan anak kita ke sekolah, seharusnya kita siap dengan segala konsekuensi dan tanggungjawab kita sebagai orangtua? Mengantar jemput anak tepat waktu, menyediakan kebutuhan belajar anak, membayar uang sekolah tepat waktu, menyiapkan anak agar ia siap menghadapi kelasnya hari itu, memantau dan mendampingi anak belajar di rumah. Bukankah itu?
Sejatinya, sebelum memasukkan anak ke sekolah, kita ini harus mengukur dulu. Mengukur kesiapan anak dan mengukur kesiapan diri kita sebagai orangtua.
Resiko memasukkan anak ke sekolah yang jaraknya jauh, ya harus siap pergi menjemput lebih awal. Harus siap dengan “tenaga cadangan” untuk menjemput anak jika pekerjaan tidak bisa ditinggalkan. Bukannya malah meminta guru anak kita untuk menunggui sampai kita bisa menjemput. Apalagi meminta beliau-beliau ini untuk mengantar mereka pulang.
Resiko memasukkan anak ke sekolah mahal, ya harus siap dananya. Jangan sampai nunggak SPP, padahal anak kita sudah mendapatkan fasilitas di sekolah. Kalau tak sanggup, masukkanlah anak ke sekolah yang dananya sesuai dengan keuangan kita. Tak perlu gengsi. Gengsimu membunuhmu. Dan ingat, guru itu juga butuh penghidupan.
Resiko sama-sama bekerja, berarti dari awal sudah harus lebih mempersiapkan anak lagi untuk berani menghadapi kelasnya. Beri anak pengertian sejak jauh-jauh hari bahwa orangtua tidak bisa setiap hari menunggui. Kalau perlu, dekatkan anak kepada guru-gurunya sejak belum masuk sekolah. Kalau ternyata anak belum siap masuk sekolah, ya jangan dipaksa. Tunda lagi setahun agar ia siap juga tidak masalah.
Resiko sama-sama bekerja juga punya konsekuensi, harus bergiliran antar jemput anak. Atau delegasikan kepada keluarga dan kerabat untuk menjemput anak di saat-saat urgent. Bukan malah meminta guru menunggui anak sampai kita bisa datang menjemput. Normalnya, keterlambatan itu rentangnya 30-60 menit sesuai jam piket guru. Lebih dari itu? Sudah, sekolahkan saja di rumah yang tidak butuh antar jemput kalau memang tidak mampu menjemput tepat waktu.
Maaf, ini bukan nyinyir. Mungkin juga bukan mewakili dari apa yang dirasakan guru. Ini adalah sebuah catatan pribadi. Sebagai pengingat bagi diri sendiri.
Sekali lagi, menyekolahkan anak bukan berarti kita bisa lepas tangan dan menyerahkan anak sepenuhnya kepada gurunya. Kita tetap harus mendampingi anak, tetap harus membersamainya, tetap harus bekerjasama dalam mendidik dan mengasuh anak-anak kita. Karena sesungguhnya, yang pertama kali akan dimintai pertanggungjawaban atas mereka adalah kita, orangtuanya, bukan gurunya.
Ditulis di Jogja, sebagai ungkapan atas kegelisahan hati. Menulis adalah caraku mengingatkan diri sendiri.
22 Juli 2016
Gambar : https://www.askideas.com/media/54/I-Love-My-Teacher-Happy-Teachers-Day-2016-Clipart.jpg
Leave a Reply