Yap, sudah lama sebenarnya saya ingin menulis tentang “me time” ini. Cuma, beberapa bulan terakhir ini jadwal di rumah kami berubah dan masih agak kacau dalam menjalankannya. Plus, side jobs saya di tempat lain juga membutuhkan perhatian lebih. Jadi…jarang update blog sendiri. Alhamdulillah, akhirnya ada yang bisa dilepaskan satu, jadi…ada waktu lagi untuk blogging lebih sering.
Me time, apaan sih?
Saya mencoba googling dengan kata kunci “me time adalah” dan berhenti di halaman 14. Capek juga bacain satu-satu artikelnya. Hehehe. Kesimpulannya, ini yang saya tangkap dan saya sarikan sendiri dari sekian banyak artikel senada itu ya, me time itu bahasa kerennya dari “waktu untuk diri sendiri”. Terlepas dari pro dan kontra dan apapun jenisnya.
Me time = waktu untuk diri sendiri. Saya bold ini untuk menjadi penegasan akan kesimpulan saya.
Sejujurnya, saya sendiri ngga tahu kapan dan siapa yang pertama kali menggaungkan pentingnya me time ini. Tapi, buat saya, me time itu istilah baru, sama seperti istilah-istilah lain dalam bahasa asing yang saat ini sedang nge-trend. Yang mana, untuk pengistilahan ini, saya secara pribadi tidak menangkap adanya isu konspirasi. Sekali lagi, untuk istilahnya ya.
Kenapa? Karena, ini menurutku, kebutuhan seseorang akan waktu bagi dirinya sendiri itu wajar. Ngga hanya untuk perempuan, laki-laki juga butuh lho. Hanya istilah “me time”nya ini yang baru muncul belakangan. Daaaannn…yang paling banyak diulas adalah pentingnya me time bagi wanita, khususnya, ibu rumah tangga.
Me time ini juga jadi pro dan kontra. Ada yang menganggap me time ini penting sepenting-pentingnya, ada yang menganggapnya cukup penting, dan ada yang menganggapnya mengada-ada alias ngga penting sama sekali. Kalau menurut saya, penting atau tidak pentingnya me time ini tergantung bagaimana kita memaknai me time itu sendiri. Pemaknaan ini yang nantinya akan terlihat dalam implementasi. Hweewwww…!
Ada yang memaknai me time itu berarti waktu untuk bersenang-senang bagi diri sendiri.
Ada yang memaknai me time dengan harus meninggalkan suami dan anak.
Ada yang memaknai me time itu harus pergi jauh, liburan ke tempat-tempat tertentu, dan mengeluarkan banyak uang.
Ada yang memaknai me time itu cukup di rumah, melakukan hobi dan hal-hal yang disukai.
Ada yang memaknai me time itu cukup dengan tidur. Dan lain sebagainya.
Semua pemaknaan ini, tergantung kita dan apa yang kita baca. Dan, kita boleh su’uzhan dengan adanya isu konspirasi manakala pemaknaan dan implementasi dari me time ini adalah sesuatu yang menjerumuskan seseorang untuk melanggar syari’at.
Dan kalau saya, ingin memaknainya dengan sederhana saja. Tapi, bukan dengan kata yang tak sempat diucapkan kayu kepada api yang menjadikannya abu, ya. Haha, kalo itu puisi-nya Pak Sapardi Djoko Damono.
Me time buat saya itu, sederhana. Waktu untuk diri sendiri yang saya sesuaikan dengan situasi dan kondisi diri saya dan keluarga saya. Bagi saya, me time itu penting. Tapi bukanlah hal utama yang harus saya tuntut pada suami dan anak-anak. Yang mana minimal 26 menit dalam sehari? Oh, tidak. Me time dalam kamus saya tidak berbatas waktu.
Me time juga bukan berarti harus meninggalkan rumah, meninggalkan suami dan anak. Pertanyaannya, apa saya bisa dan tega? Yang benar saja! Saya pergi belanja sendirian sebentar ke minimarket dekat rumah saja saya sudah sering merasa khawatir. Coba tanya yang lainnya, hampir mayoritas akan menjawab, “kepikiran sama yang di rumah!”.
Me time juga ngga harus shopping atau cuci mata di mall, atau nonton konser, atau nonton bioskop. Big No kalo ini, mah. Saya ngga belanja di luar kebutuhan saya dan keluarga. Berusaha untuk tidak belanja kalau hanya kepengin atau lapar mata saja. Khawatir tabdzir atau israf. Makanya saya bisa dibilang jarang ke mall. Nonton konser dan bioskop? Alhamdulillah, sekalipun belum pernah.
Me time buat saya itu penting untuk menghalau rasa jenuh dan membooster semangat baru. Caranya? Saya bisa baca buku, bahkan sambil menyusui anak pun saya bisa baca buku untuk me time saya. Biar ngga hanya sekedar bengong atau utak-utik HP. Hafalan qur’an dan muraja’ah, itu juga me time. Datang ke kajian atau mendengarkan kajian online, itu juga me time buat saya. Berkumpul, playdate, dan berdiskusi dengan teman-teman di komunitas, itu juga me time. Diskusi ya, bukan nggosip.
Me time bukan hanya sekedar untuk bersenang-senang, tapi yang lebih dalam dari itu semua adalah…memanfaatkan waktu bagi diri sendiri untuk hal-hal yang bermanfaat. Saya muslim, dan saya tidak diajarkan untuk menghabiskan waktu dengan hal-hal yang sia-sia. Setiap perbuatan itu akan dimintai pertanggungjawaban.
Me time buat saya juga harus me time yang bertanggungjawab. Kalau saya sedang butuh waktu untuk sendiri, saya harus memastikan bahwa suami dan anak-anak saya haknya sudah terpenuhi. Mereka enjoy, saya baru bisa enjoy me time. Bukan sesuatu yang pantas rasanya, kalau kita nekat pergi dengan alasan “ini me time-ku”, sementara suami kerepotan dengan anak-anak, atau bahkan anak ditinggal sendirian di rumah. Mau me time-nya pergi kajian juga, kalau anak ditinggal tanpa pendampingan dan pengawasan, itu tidak bertanggungjawab namanya!
So, ada harusnya kalau me time itu dibicarakan dengan suami dan anak. Bicarakan lingkup, jenis dan kegiatan ber-me time yang kita harapkan, pembagian peran, sesuaikan juga dengan kondisi keluarga kita. Ngga usah muluk-muluk, sederhanakan saja. Jangan melambungkan sesuatu yang sederhana dengan pemaknaan yang terlalu tinggi.
Menjadi seorang ibu rumah tangga itu adalah tugas yang mulia. Setiap tetes keringat yang terkucur, manakala kita ikhlas dan meniatkannya karena Allah, maka akan bernilai pahala. Mengurus rumah, mendidik dan mengasuh anak, melayani suami, itu semua kita kerjakan hampir di seluruh waktu yang kita miliki. Ada masa-masa dimana kita butuh waktu untuk diri sendiri. Ibu kita, ibunya ibu kita, ibu ibu ibunya kita -dan seterusnya- semua juga pernah merasakan hal yang sama. Kita tidak sendiri, kok. Tapi, kita juga harus realistis dan tetap menjaga jalur agar tidak keluar dari koridor syari’at.
Leave a Reply