Sebelumnya, tulisan ini banyak memuat pendapat dan pemikiran saya pribadi. Jadi apabila ada kesalahan di dalamnya, mohon untuk mengingatkan saya. Sesungguhnya kebenaran hanyalah milik Allah.
Ada seorang bocah cilik yang belum genap 6 tahun, namun ia telah menjadi seorang hafidz Qur’an. Dialah Musa. Namanya kini mendunia, setelah ia mengikuti kompetisi menghafal Al-Qur’an tingkat Internasional di KSA, dan menjadi peserta termuda. Banyak yang mengaguminya, termasuk saya. Banyak juga orangtua yang berharap dapat mengikuti jejak orangtua Musa dalam mendidik anaknya, agar bisa menjadi hafidz Qur’an sejak kecil. Saya juga.
Tapi, tidak jarang pula ada orangtua yang bertanya-tanya, “tidakkah itu memberatkan anak?” atau “apa itu bukan pemaksaan namanya?” atau “apakah itu tidak merampas hak anak?” atau “memangnya wajibkah menghafal Al-Qur’an di usia dini?” dan yang semisal dengan itu.
Saya tidak mau men-judge alias menghakimi. Ah, siapalah saya. Tapi, ijinkan saya berbagi apa yang menari-nari di kepala saya dan meminta untuk dituangkan.
Sepanjang yang saya tahu, hukum menghafal Al-Qur’an adalah fardhu kifayah. Jadi, kewajiban itu bisa gugur manakala ada orang lain yang telah menjalankannya.
Silakan buka link-link berikut ini untuk lebih jelasnya :
http://rumaysho.com/umum/hukum-menghafal-al-quran-460
Setiap individu itu unik. Setiap keluarga itu unik. Bicara sebagai orangtua, setiap kita boleh dan berhak menentukan sistem dan model pendidikan apa untuk anak-anak kita yang juga disesuaikan dengan kebutuhan, serta minat dan bakat anak.
Kita boleh mengikuti jejak orangtua Musa dalam mendidik anak untuk menghafal sejak dini. Boleh, dan itu sah-sah saja. Namun, mengikutinya sebaiknya jangan hanya melalui katanya dan katanya saja. Tapi lihat, dengar, dan rasakan kehidupan bersama keluarga Musa. Pelajari langsung, lalu ukur diri kita dan anak kita.
Meski menghafal Qur’an sejak kecil, bahkan bangun pagi untuk mengulang hafalan, Musa tidak nampak tertekan, dia terlihat enjoy dan menikmati. Ini karena pembiasaan. Musa juga tidak kehilangan haknya sebagai anak-anak. Lihat bagaimana orangtuanya menjadi fasilitator baginya. Lihat bagaimana orangtuanya menanamkan tentang pergaulan kepadanya. Lihat bagaimana pengorbanan orangtuanya untuk Musa dan adik-adiknya. Musa tetap memiliki waktunya untuk bermain-main. Musa tetap bergaul dan berteman. Ini yang saya baca dan amati dari media yang ada.
Pertanyaannya, mau dan mampukah kita melakukan hal yang sama seperti ayah dan ibu Musa?
Musa adalah salah satu contoh hasil didikan yang bisa dikatakan “tepat” dalam menghafal Al-Qur’an sejak dini. Ada contoh yang tidak tepat? Ada, dan itu lebih banyak.
Kebetulan saya mengenal beberapa anak lain, yang “dipaksa” menghafal Al-Qur’an oleh orangtua dan guru mereka. Orangtua dan guru tidak mengukur diri anak tersebut, tidak mencarikan metode yang tepat sasaran untuk anak tersebut sesuai dengan kemampuannya. Semua dipukul rata. Tak hafal sesuai target, hukum. Salah bacaan, hukum. Semua serba dengan hukuman dan ancaman.
Banyak di antara mereka yang akhirnya mogok total tidak mau sekolah. Ada yang mengatakan bahwa “aku tidak ingin jadi robot penghafal Qur’an”. Ada yang sampai begitu trauma hanya dengan mendengar kata “muraja’ah”.
Saya mencoba merenung dan bercermin pada diri saya sendiri. Jujur, kalau saya pribadi belum bisa. Saya merasa saya kurang sabar. Saya khawatir, jika saya nantinya menjadi “terobsesi” untuk menjadikan anak saya seperti Musa, sehingga malah menekan dan membanding-bandingkannya. Jujur, kami masih memiliki amanah lain yang juga belum bisa dilepas untuk dapat fokus mendidik anak-anak kami full menghafal Al-Qur’an bersama kami.
Tapi, bukan berarti kami tidak ingin anak-anak kami menjadi penghafal Al-Qur’an….bukan…Kami ingin, tapi kami ingin menjalaninya sesuai dengan karakter di keluarga kami dan sesuai dengan kemampuan kami.
Saya pernah menjadi guru Al-Qur’an. Pengalaman mengatakan bahwa saya bukanlah guru yang baik kala itu. Saya masih melakukan kesalahan yang sama : saya masih menyamaratakan setiap anak. Saya masih membandingkan anak satu dengan anak lainnya. Saya masih menekan mereka untuk bisa menghafal dengan baik dan cepat. Meskipun, sepanjang ingatan saya, saya belum pernah menghukum gara-gara tidak hafal. (Murid-murid saya yang baca, kalau pernah ada yang merasa dihukum karena ini, harap lapor ya…)
Setelah saya banyak belajar, dan semakin belajar lagi sejak menjadi orangtua, saya bertekad untuk berubah. Saat ini, saya ingin memulainya dengan kecintaan. Saya ingin menumbuhkan rasa cinta dan pemahaman bahwa Kitab ini, Al-Qur’an adalah Kalam Allah yang mulia dan harus dimuliakan. Saya ingin anak saya tidak hanya sekedar bisa membaca dan menghafal, tapi juga memahami arti dan isinya. Tidak mengapa ia sedikit lambat dari yang lain. Bahkan meski saya mengajarinya hafalan sambil menjejerkan mainan-mainannya ikut dengan majelis kami pun, tak mengapa. Bahkan meski setiap pagi kami harus menggendongnya di punggung sambil jalan-jalan dan mengulang hafalannya pun, tak mengapa. Asalkan ia enjoy.
Bunda, yuk kita sama-sama renungi…
Kenapa harus merasa berat mengajarkan anak menghafal Al-Qur’an, jika lagu-lagu anak saja kita ajarkan pada mereka? Bukankah Al-Qur’an amat sangat jauh lebih baik untuk diajarkan daripada lagu-lagu tersebut? Bukankah Al-Qur’an jauh lebih mulia dan dapat menuai pahala bila mengajarkan dan menghafalkannya? Bukankah Al-Qur’an adalah apa yang akan kita baca setiap kita shalat, 5 kali dalam sehari?
Lagu-lagu itu enjoy…asyik…anak bisa mudah menghafalnya. Kalau Al-Qur’an itu berat…susah menghafalnya…
Banyak memang yang bilang begitu. Tapi, itu tidak benar, Bunda…jika kita melakukannya dengan cara yang benar.
Kala kita mengajarkan anak bernyanyi, kita selalu melakukannya dengan riang gembira. Makanya mudah hafal. Tapi, saat mengajarkan Al-Qur’an, sering kali hati kita sendiri merasa berat, sehingga lebih susah mengajarkannya.
Coba kalau kita ubah pola itu. Perbaiki bacaan Al-Qur’an kita, biasakan anak mendengar tilawah Qur’an, serta ringan hati saat mengajarkannya. Bacaan Al-Qur’an yang merdu dan tartil, itu mempermudah hafalan, lho Bunda. Saya pribadi sudah melakukannya, dan…itu bekerja.
Jangan jadikan menghafal Al-Qur’an itu sebagai beban, itu yang harus dicatat baik-baik. Dan tidak perlu iri atau menjadi terobsesi hanya karena anak orang lain sudah lebih dulu sampai di surat yang lebih tinggi. Ini anak kita, ya sudah, fokus saja.
Demikian, semoga bermanfaat. Dan, mari…kita tanamkan kecintaan terhadap Al-Qur’an pada anak-anak kita sejak dini.
Leave a Reply